Syekh Al-Jubba’i
Mutakallimin Terkemuka di Basrah
Syekh Al-Jubba’i merupakan tokoh aliran Islam Mu’tazilah yang berkembang pada zamannya di Basrah, Iraq. Ketokohannya yaitu setelah beberapa tahun belajar kepada gurunya yang memang ahli dalam bidang teologi Islam. Berikut ini kisah hidupnya.
Nama Lengkap Syekh Al-Juba’i adalah Abu Ali Muhammad bin Abd Wahhab al-Jubba’i. Ia lahir di Desa Jubba, sebuah desa kecil di wilayah Khazakstan pada tahun 235 H. Kemudian nama desa tersebut dinisbatkan kepada namanya. Ia meninggal dunia pada tahun 303 H bulan Syakban di Basrah, Iraq.
Sejak kecil Syekh Al-Juba’i sudah menampakkan diri sebagai anak yang cerdas. Khususnya dalam memahami ajaran Islam. Menginjak dewasa, ia berguru kepada seorang ulama ahli teolog.
Kesukaannya mempelajari ilmu agama Islam secara mendalam. Karena itu, ia lebih pandai daripada teman-teman sebayanya. Menginjak dewasa, ia berguru kepada Abu Ya’qub Yusuf Asy-Syahham tentang ilmu teologi Islam. Dari sinilah ia berkembang menjadi seorang yang memiliki kemampuan berdebat dengan siapa saja dalam hal agama.
Akhirnya, ia terkenal sebagai seorang mutakallimin (teolog) pada zamannya. Tidak ada penentangan kepadanya. Ia jelaskan sesuai dengan akal pikiran manusia yang mendasarkan diri kepada Alquran dan Hadis. Umat Islam menyambut dengan suka cita.
Kemahirannya berdebat dalam masalah-masalah keislaman semakin terkenal di tengah-tengah umat Islam. Masyarakat menyambut baik dengan membahas ajaran Islam dengan menggunakan akal pikiran dalam menyelesaikan masalah-masalah umat yang bertumpu pada agama. Maka, ia ditokohkan oleh masyarakat sebagai ulama yang menganut faham Mu’tazillah. Yaitu sebuah faham yang berpikir berdasarkan akal pikiran manusia, dalam memahami persoalan-persoalan keagamaan.
Pendekatan menyelesaikan persoalan kehidupan di masyarakat dengan kaitan agama masih tetap menekankan kepada Alquran dan Hadis sebagai dasar pijakannya. Sehingga, tidak menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Misalnya, pertama, mengenai sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya. Demikian pula kekuasaan dan hidup melalui esensi-Nya. Jadi, Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan mengetahui melalui zat-Nya. Inilah yang dinamakan dengan peniadaan sifat Tuhan.
Kedua, mengenai perbuatan manusia. Ia berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan, daya (al Istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Perbuatan ini diwujudkan semata-mata oleh daya yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa manusia berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat zalim. Hal ini tidak dapat diterima akal sehat.
Perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia. Jika seorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika seseorang tidak ingin berbuat sesuatu itu tidak terjadi. Jika sekiranya perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan Tuhan. Maka, perbuatannya tidak akan terjadi sungguh pun ia mengingini dan menghendaki perbuatan itu. Atau, perbuatannya akan terjadi sungguh pun ia tidak menginginkan dan tidak menghendaki perbuatan itu.
Pemikiran-pemikirannya dalam mengartikan ajaran Islam berdasarkan pendekatan akal menjadikan banyak umat semakin mengerti dan pada akhirnya menggunakan akal sebagai proses pemecahan masalah. HUSNU MUFID
0 Response to "Rahasia Kisah Sufi Al Jubai"
Posting Komentar